• About
  • Parent Page
  • Archives
  • Uncategorized
  • TANGGUNG JAWAB NEGARA

    Minggu, 10 April 2011


    TANGGUNG JAWAB NEGARA
    (STATE RESPONSIBILITY)



    DEVINISI TANGGUNG JAWAB NEGARA
    Pengertian tanggung jawab memang seringkali terasa sulit untuk menerangkannya dengan tepat. Ada kalanya tanggung jawab dikaitkan dengan keharusan untuk berbuat sesuatu, atau kadang-kadang dihubungkan dengan kesedihan untuk menerima konsekuensi dari suatu perbuatan. Banyaknya bentuk tanggung jawab ini menyebabkan terasa sulit merumuskannya alam bentuk kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti. Tetapi kalau kita amati lebih jauh, pengertian tanggung jawab selalu berkisar pada kesadaran untuk melakukan, kesediaan untuk melakukan, dan kemampuan untuk melakukan.
    Dalam kebudayaan kita, umumnya "tanggung jawab" diartikan sebagai keharusan untuk "menanggung" dan "menjawab" dalam pengertian lain yaitu suatu keharusan untuk menanggung akibat yang ditimbulkan oleh perilaku seseorang dalam rangka menjawab suatu persoalan.
    Terkait dengan tanggung jawab negara dalam pengelolaan lingkungan hidup, Pasal 3 UUPLH menyatakan: “Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
    Dalam undang-undang tersebut tidak dijelaskan apa yang dimaksud “tanggung jawab negara”. Dalam berbagai literatur maupun peraturan perundang-undangan juga kerap dijumpai istilah “tanggung jawab negara” padahal dimaksudkan sebenarnya adalah untuk menyebut “tanggung jawab pemerintah”, dan sebaliknya. Dalam peraturan perundang- undangan maupun literatur hukum istilah “tanggung jawab” seringkali disinonimkan dan karena itu sering dipertukarkan penggunaannya dengan istilah “kewajiban”. Kedua istilah ini memang sulit dipisahkan satu sama lain, persoalannya adalah apakah istilah “tanggung jawab” itu identik dengan istilah “kewajiban”?Pembuat undang-undang sama sekali tidak memberikan penjelasan atau tafsir otentik mengenai istilah “tanggung jawab negara” dalam pasal 3 atau penjelasannya dalam UUPLH. Dalam hubungan ini ada dua istilah (terminologi) yang perlu mendapatkan kejelasan, supaya tidak menimbulkan bias makna, yakni istilah “tanggung jawab” dan istilah “negara”.Dalam literatur hukum berbahasa Inggris, istilah “tanggung jawab” bisa merujuk pada istilah “responsibility” maupun “liability”.
    Dalam Black’s Law Dictionary, istilah “responsibility” berarti: The state of being answerable for an obligation, and includes judgement, skill, ability and capacity. The obligation to answer for an act done, and to repair or otherwise make restitution for any injury it may have caused. Sedang, istilah “liability” merupakan istilah hukum yang luas maknanya, antara lain bisa berarti: -   all character of debts and obligations;  -   an obligation one bound in law or justice to perform;-   any kind of debt or liability, either absolute or contingent, express or implied; -   condition of being actually or potentially subject to an obligation; -   condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil, expense, or burden;-   condition which creates a duty to perform an act immediately or in the future.

    KONSEP TANGGUNG JAWAB NEGARA
    Esensi utama “tanggung jawab Negara” adalah masalah hak dan kewajiban Negara atas 2 hal, yaitu:
    a.   Tanggung jawab Negara atas orang-orang asing yang berada di wilayahnya beserta asset-asetnya.
    b.      Tanggung jawab Negara dalam menyelesaikan berbagai persoalan domestic.
    Pendapat lain mengatakan bahwa ruang lingkup tanggung jawab Negara adalah hak dan kewajiban Negara terhadap;
    a.      Perjanjian-perjanjian internasional.
    b.      Pelanggaran atas tindakan-tindakan internasional.

    Komisi hukum internasional dalam laporannya pada tahun 1974 menyatakan; “the principle that the state is responsible for act and commissions of organs of territorial government entities, such as municipalities, provinces and regions, has long been unequivocally recognized in international judicial decisions and the practice of state” (prinsip bahwa Negara bertanggung jawab karena tindakan kelalaian organ-organ pemerintahan negaranya seperti organ nasional, provinsi dan daerah sudah lama secara tegas diakui di dalam keputusan pengadilan internasional dan praktek Negara-negara).
    Uraian tersebut diatas memberikan gambaran, bahwa Negara mempunyai tanggung jawab mulai dari pemerintah pusat  sampai ke pemerintah daerah atas 2 hal yaitu:
    a.        Kewajiban melaksanakan berbagai perjanjian internasional.
    b.   Kewajiban mengatasi persoalan-persoalan pelanggaran yang menyebabkan kerugian pada subjek hukum internasional, baik itu Negara, individu, organisasi internasional maupun perusahan-perusahan nasional dan multi nasional.

    CONTOH TANGGUNG JAWAB NEGARA
    1.        Tanggung jawab atas kalalaian Internasional.
    “It many arise of any international wrong or negligent act or omission on the part of state agency toward foreigners withins a state’s jurisdiction or foreigne territory. This is called delictual liability. It may occur in a number of situation” Yang diartikan sebagai, jika ada suatu pelanggaran internasional atau tindakan pengingkaran atau kelalaian oleh organ Negara  terhadap warganegara asing di dalam yurisdiksi negaranya tersebut disebut delik tanggung jawab yang dapat terjadi pada banyak situasi. Tanggung jawab Negara diperlukan, apabila terjadi tindakan-tindakan berupa kelalaian/pengabaian atas kewajiban Negara terhadap warganegara asing yang berada di wilayah negaranya.
    Beberapa peristiwa yang menuntut adanya penyelesaian dan tanggung jawab Negara yang termasuk tortius liability (tanggung jawab pelanggaran) diantaranya:
    a.    Eksplorasi ruang angkasa, Negara yang melakukan aktivitas-aktivitas di ruang angkasa bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dan menyebabkan kerusakan dan kerugian pada Negara lain.
    b.   Eksplorasi Nuklir, Negara-negara yang melakukan percobaan nuklir bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Negara-negara yang terkena dampak akibat aktivitas-aktivitas tersebut.

    Sekalipun Negara yang melakukan tindakan percobaan telah menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Eksplorasi nuklir merupakan aktivitas-aktivitas yang mempunyai resiko yang tinggi (high risk). Adapun bentuk tanggung jawab yang perlu dilakukan adalah melakukan tindakan pemberitahuan kepada Negara yang diperkirakan terkena dampak aktivitas-aktivitas dimaksud sebagai tindakan preventi. Hal ini sebagai cerminan doktrin yang mengatakan: “Owes  at all time a duty to protect other state against injurious act by individual from within its jurisdiction” Negara memiliki kewajiban untuk melindungi Negara lain dari tindakan-tindakan yang merugikan yang di lakukan oleh individu di wilayah negaranya.
    Selain itu, beberapa  deklarasi internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup, seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan disempurnakan melalui deklarasi Rio de Jeneiro 1992 pada prinsip 2 menyatakan: “State have, an accordance with the charter of the united nations and the principles of international law, sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within jurisdiction or control do not cause damage to the environmental of other state or of areas beyond the limits of national jurisdiction. ”Negara-negara sesuai dengan piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional, memiliki kedaulatan untuk mengelola sumber kekayaan alamnya sesuai dengan kebijakan pembangunan dan lingkungan dan bertanggung jawab untuk menjamin aktivitas-aktivitas yang dilakukannya tidak merugikan Negara-negara lain.
    Tindakan yang mesti dilakukan, apabila aktivitas-aktivitas di dalam suatu Negara menyebabkan kerusakan yang melintasi batas-batas Negara adalah tindakan dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada Prinsip yang berbunyi: “In order to protect the environmental, the precautionary approach shall be widely applied by state according to their capabilities. Where there are threatas of serious or irreversible damage, lock of full scientific certainty shall noty be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental defradation”. Untuk melindungi lingkungan, pendekatan kehati-hatian secara luas diterapkan oleh Negara-negara sesuai dengan kewenangannya. Dimana terdapat ancaman serius  atau kerugian, kekurangan kepastian ilmiah biasanya digunakan sebagai alasan untuk menunda tindakan-tindakan efektif untuk mencegah kerusakan lingkungan.
    2.        Tanggung jawab kerusakan akibat kerusuhan.
    Manifestasi tanggung jawab Negara pada saat kerusuhan antara lain, dengan memberitahukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan melalui perwakilan Negara masing-masing untuk segera menghimbau warganegara untuk tidak berkunjung ke Negara yang sedang berkonflik.
    Secara hukum. Tanggung jawab Negara akan lepas, apabila sudah ada pemberitahuan dan ternyata masih ada warganegara asing yang berkunjung ke Negara sedang mengalami kerusuhan dan menimbulkan kerugian, setidak-tidaknya ancaman terhadap jiwa dan harta. Tanggung jawab yang dimaksud disini adalah tanggung jawab atas kerugian tersebut, tetapi tidak menghilangkan tanggung jawab Negara secara keseluruhan untuk melindungi kepentingan Negara asing, baik warganegaranyya maupun asset-asetnya serta segera mengambil tindakan-tindakan untuk mengatasi kerusuhan tersebut.


    PRINSIP HUKUM TANGGUNG JAWAB NEGARA.
    Yang menjadi salah satu prinsip dari hukum tanggung jawab negara antara lain adalah Dasasila Bandung. Prinsip ke-10 Dasasila Bandung dihasilkan dari Konferensi Asia-Afrika atau KAA pada tahun 1955, yaitu untuk saling menghormati hukum dan kewajiban antar negara lain, yang dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengakhiri sejumlah konflik di berbagai belahan bumi, khususnya di Afrika. Demikian disampaikan Presiden Institut Sapporo untuk Solidaritas Internasional, Profesor Matsumoto Shoji, ketika berbicara di seminar internasional yang digelar untuk mengenang 65 tahun Konferensi Asia Afrika di Gedung Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).
    Prinsip isi dari Dasasila Bandung itu, sebutnya, memiliki kaitan erat dengan prinsip “hukum tanggung jawab negara” atau law of state responsibility dalam disiplin hukum internasional. Menurut ahli perbandingan hukum-politik ini, sejarah law of state responsibility berawal di era kolonialisasi Eropa, khususnya di paruh kedua abad ke-19. Itupun hanya berlaku untuk masalah diplomatik yang berkaitan dengan perlindungan terhadap warga negara yang berada di luar negeri. Dan tentu saja, luar negeri yang dimaksud dalam konteks ketika itu adalah koloni-koloni Eropa di benua Asia dan Afrika.
    Dan baru setelah di tahun 2001 Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission/ILC) mengadopsi Draf Artikel Tanggung Jawab Negara untuk Pelanggaran Internasional atau Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts yang sebenarnya mulai digagas sejak akhir Perang Dunia Kedua, di masa Liga Bangsa Bangsa. Dari perjalanan singkat ini dapat disimpulkan bahwa butir ke-10 Dasasila Bandung tersebut tidak tak-punya karakter atau sekadar konvensi biasa. Melainkan, ia lahir dari semangat zaman yang menuntut persamaan derajat di antara bangsa-bangsa di dunia.
    Konflik di sejumlah negara Afrika, seperti Somalia, Sudan, dan Sahara Barat, harus dihadapi dengan menggunakan prinsip hukum tanggung jawab negara ini.
    “Setiap negara yang melakukan pelanggaran atau membiarkan pelanggaran terjadi di batas kedaulatan negara itu harus dimintai pertanggungjawaban, jangan sampai ia menjadi negara gagal karena tidak mampu memperlihatkan tanggung jawab,” ujar Prof. Matsumoto.
    Beliau mengingatkan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh di dalam batas wilayahnya. Kedaulatan ini melekat bersamaan dengan kewenangan di dalam bidang legislasi atau penyusunan perundangan, adminstrasi atau pelaksanaan pemerintahan dan judisial atau pengadilan. Itu sebabnya, sebuah negara wajib membuktikan tanggung jawab secara internasional atas setiap pelanggaran berdimensi internasional yang dilakukan oleh pihak manapun di dalam teritorinya. Pelanggaran HAM di dalam sebuah negara pun bisa dianggap sebagai persoalan internasional, dan dengan demikian negara tempat dimana pelanggaran itu terjadi bisa pula dimintai pertanggungjawabannya secara internasional.
    Lantas, mengapa kedaulatan wilayah sebuah negara menjadi subordinasi dari hukum HAM internasional? Untuk menjawab pertanyaan ini, Prof. Matsumoto membedah dua pasal penting di dalam Draf Artikel Tanggung Jawab Negara untuk Pelanggaran Internasional, yakni Pasal 16 dan Pasal 17.
    Pada pasal 16 dari Draft Artikel tersebut mengenai tanggung jawab yang dibebankan kepada sebuah negara yang memberikan bantuan dan dukungan kepada pihak lain yang melanggar hukum internasional di batas wilayah negara itu. Merujuk bagian penjelasan dari Draft Artikel tersebut, terdapat dua kategori bentuk pelanggaran hukum tanggung jawab negara yang mungkin dilakukan. Pertama, sebuah negara sengaja berpartisipasi dengan memberikan bantuan atau dukungan terhadap kelompok atau organisasi yang menentang negara berdaulat lainnya dengan menyediakan tempat untuk kelompok atau organisasi itu.
    Kedua, sebuah negara terlibat atau memberikan izin kepada pihak lain yang berada di dalam wilayahnya untuk menggunakan serangan dan berbagai bentuk gangguan keamanan lain kepada negara berdaulat lainnya.
    Adapun menurut Pasal 17, sebuah negara yang mengendalikan dan mengontrol pihak lain untuk melakukan pelanggaran berskala internasional bertanggung jawab terhadap tindakan itu. Di dalam presentasinya Prof. Matsumoto tidak menyebutkan secara spesifik kasus yang sedang terjadi dan memiliki dimensi pelanggaran prinsip-prinsip hukum tanggung jawab negara itu. Namun demikian, contoh paling dekat yang dapat kita amati, misalnya, berkaitan dengan konflik di Sahara Barat antara Polisario, kelompok yang mengklaim diri sebagai representasi orang-orang Sahara, melawan Kerajaan Maroko.
    Di dalam konstelasi konflik ini juga terdapat aktor negara lain, yakni Aljazair, yang berbatasan langsung dengan Maroko di sebelah timur. Sejak konflik antara Polisario dan Kerajaan Maroko pecah di pertengahan 1970an, Aljazair memainkan peranan yang cukup signifikan.
    Adalah Aljazair yang menampung kelompok Polisario di sebuah kamp pengungsi, Tindouf, di dalam batas wilayahnya. Tidak itu saja, Aljazair juga terlibat aktif membantu dan memberikan pelatihan terhadap pasukan bersenjata Polisario. Bahkan, sejumlah laporan menyebutkan bahwa pasukan Aljazair ikut bertempur ketika Polisario terlibat konflik bersenjata dengan Kerajaan Maroko hingga 1991.
    Untuk melaksanakan prinsip-prinsip hukum tanggung jawab negara, tutup Prof. Matsumoto, negara-negara Asia dan Afrika dewasa ini tidak cukup hanya dengan menjadi bagian dari masyarakat internasional. Hal lain yang begitu penting dalam konteks ini adalah mempromosikan prinsip-prinsip Dasasila Bandung, khususnya yang berkaitan dengan penghormatan terhadap aturan hukum dan kewajiban internasional.

    1 komentar:

    1. Unknown mengatakan...:

      dalam konteks tujuan negara, maka tanggung jawab negara dimaknai sebagai keharusan atau kewajiban oleh negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dipandang sebagai upaya pencapaian suatu tujuan tertentu.

    Posting Komentar